Lensaxxx

Anak Angkat Yang Pengen Nenen Ibunya

Teng! Jam dinding berdentang satu kali. Malam semakin larut, tapi Hera masih duduk di ruang tengah. Sejak tadi matanya sulit terpejam. Baru beberapa jam yang lalu Ibu Mas Vincent, suaminya, menelepon,

“Her, Alhamdulillah, barusan ini keponakanmu bertambah lagi…” suara ibu terdengar sumringah di ujung sana.
“Alhamdulillah… laki-laki atau perempuan, Bu?” Hera tergagap, kaget dan senang. Sudah seminggu ini keluarga besar Mas Vincent memang sedang berdebar-debar menanti berita ini, adik suaminya, yang akan melahirkan.

“Laki-laki. Cakep lho, Her, mirip Mas-mu diwaktu bayi…” Ibu tertawa bahagia. Dini memang adik yang termirip wajahnya dengan Mas Vincent.
“Selamat ya, Bu, nambah cucu lagi. Salam buat Dini, Insya Allah besok pulang kerja, Hera dan Mas Vincent akan jenguk ke rumah sakit.” janji Hera sebelum menutup pembicaraan dengan Ibu yang sedang menunggu Dini di rumah sakit.

Setelah menutup telepon, Hera termenung sesaat. Ia jadi teringat usia pernikahannya yang telah memasuki tahun ke 5, tapi belum juga ada tangis si kecil menghiasi rumah mereka. Meskipun demikian ia tetap ikut merasa sangat bahagia mendengar berita kelahiran anak kedua Dini di usia pernikahan mereka yang baru tiga tahun.

“Kok melamun?!” Mas Vincent yang baru keluar dari kamar mandi mengagetkannya. Ia memang pulang agak malam hari ini, ada rapat di kantor katanya. Air hangat untuk mandinya sempat Hera panaskan dua kali tadi.
“Mas, ibu tadi mengabari, Dini sudah melahirkan. Bayinya laki-laki,” cerita Hera.

“Alhamdulillah… Dila sudah punya adik sekarang,” senyum Mas Vincent sambil mengeringkan rambutnya, tapi entah mengapa Hera menangkap ada sedikit nada getir dalam suaranya. Hera menepis perasaannya sambil segera menata meja menyiapkan makan malam.

Selepas Isya’an bersama, Mas Vincent segera terlelap, seharian ini ia memang lelah sekali. Hera juga sebenarnya agak lelah hari ini. Ia memang beruntung, selepas kuliah dan merasa tidak nyaman bekerja di kantor, Hera memutuskan untuk membuat usaha sendiri saja.

Dibantu temannya yang seorang notaris, akhirnya Hera mendirikan perusahaan kecil-kecilan yang bergerak di bidang design interior. Hera memang berlatar pendidikan bidang tersebut, ditambah lagi ia punya bakat seni untuk merancang sesuatu menjadi indah dan menarik. Bakat yang selalu tak lupa disyukurinya. Keluarga dan teman-teman banyak yang mendukungnya, akhirnya sekarang ia sudah memiliki kantor mungil sendiri tidak jauh dari rumahnya.

Dan, seiring dengan kemajuan dan kepercayaan yang mereka peroleh, perusahaannya sedikit demi sedikit mulai dikenal dan dipercaya masyarakat. Tapi Hera merasa itu tidak terlalu melelahkannya, semua dilakukan semampunya saja, sama sekali tidak memaksakan diri, malah menyalurkan hobi dan bakatnya merancang dan mendesign sesuatu sekaligus mengisi waktu luangnya. Beberapa karyawan yang sigap dan cekatan membantunya. Malah sekarang sudah ada beberapa designer interior lain yang bergabung di perusahaan mungilnya.

Itu sebabnya sesekali saja Hera agak sibuk mengatur ketika ada pesanan mendesign yang datang, selebihnya teman-teman yang mengerjakan. Waktu Hera terbanyak tetap buat keluarga, mengurus rumah atau masak buat Mas Vincent meski ada Siti yang membantunya di rumah, menurutnya itu tetap pekerjaan nomor satu.

Hera juga bisa tetap rutin mengaji mengisi ruhaniahnya. Namun karena kegiatannya itu, biasanya ia tidur cepat juga, tapi malam ini rasa kantuknya seperti hilang begitu saja. Berita dari ibu tadi membuat Hera teringat lagi. Teringat akan kerinduannya menimang si kecil, buah hatinya sendiri.

Lima tahun pernikahan adalah bukan waktu yang sebentar. Awalnya Hera biasa saja ketika enam bulan pertama ia tak kunjung hamil juga, ia malah merasa punya waktu lebih banyak untuk suaminya dan merintis kariernya.

Seiring dengan berjalannya waktu dan tak hentinya orang bertanya, dari mulai keluarga sampai teman-temannya, tentang kapan mereka menimang bayi, atau kenapa belum hamil juga, Hera mulai khawatir. Fitrahnya sebagai wanita juga mulai bertanya-tanya, apa yang terjadi pada dirinya, atau kapan ia hamil seperti juga pasangan-pasangan lainnya…

Atas saran dari banyak orang, Hera mencoba konsultasi ke dokter kandungan. Seorang dokter wanita dipilihnya. Risih juga ketika menunggu giliran di ruang tunggu klinik, pasien di sekitarnya datang dengan perut membuncit dan obrolan ringan seputar kehamilan mereka. Atau ketika salah seorang diantara mereka bertanya sudah berapa bulan kehamilannya.

“Saya tidak sedang hamil, hanya ingin konsultasi saja…” senyum Hera sabar meski dadanya berdebar, sementara Mas Vincent semakin pura-pura asyik dengan korannya. Hera bernafas lega ketika dokter menyatakan ia sehat-sehat saja. Hindari stress dan lelah, hanya itu nasehatnya.

Setahun berlalu. Di tengah kebahagiaan rumah tangganya, ada cemas yang kian mengganggu Hera. Kerinduan menimang bayi semakin menghantuinya. Sering Hera gemas melihat tingkah polah anak-anak kecil disekitarnya, dan semakin bertanya-tanya apa yang terjadi dengan dirinya.

Setelah itu mulailah usaha Hera dan suaminya lebih gencar dan serius mengupayakan kehamilan. Satu demi satu saran yang diberikan orang lain mereka lakukan, sejauh itu baik dan tidak melanggar syariat agama. Beberapa dokter wanita juga kadang mereka datangi bersama, meski lagi dan lagi, sama saja hasilnya. Sementara hari demi hari, tahun demi tahun terus berlalu.

Kadang Hera menangis ketika semakin gencar pertanyaan ditujukan padanya atau karena cemas yang kerap mengusik tidurnya. Mas Vincent selalu sabar menghiburnya, “Hera, apa yang harus disedihkan? Dengan atau tanpa anak, rumah tangga kita akan berjalan seperti biasa. Aku sudah sangat bahagia dengan apa yang ada sekarang. Insya Allah tidak akan ada yang berubah dalam rumah tangga kita…” kata Mas Vincent suatu ketika seperti bisa membaca jalan pikirannya.

Suaminya memang tahu kapan Hera sedang mendalam sedihnya dan harus dihibur agar tidak semakin larut dalam kesedihan. Di saat-saat seperti itu memang cuma suaminya yang paling bisa menghiburnya, tentu saja disamping do’a dan berserah dirinya pada Tuhan.

Kadang Hera heran kenapa Mas Vincent bisa begitu sabar dan tenang, seolah-olah tidak ada apapun yang terjadi. Dia selalu ceria dan optimis seperti biasa. Apakah memang pria tidak terlalu memasukkan unsur perasaannya atau mereka hanya pintar menyembunyikan perasaan saja? Hera tidak tahu, yang pasti sikap Mas Vincent banyak membantu melewati masa-masa sulitnya.

Sebenarnya Hera juga bukan selalu berada dalam kondisi sedih seperti itu. Sesekali saja ia agak terhanyut oleh perasaannya, biasanya karena ada faktor penyulutnya, yang mengingatkan ia akan mimpinya yang belum terwujud itu. Selebihnya Hera bahagia saja, bahkan banyak aktivitas atau prestasi yang diraihnya.

Buatnya tidak ada waktu yang disia-siakan. Selagi sempat, semua peluang dan kegiatan positif dilakukannya. Kadang-kadang beberapa teman menyatakan kecemburuannya terhadap Hera yang bisa melakukan banyak hal tanpa harus disibuki oleh rengekan si kecil. Hera tersenyum saja.

Hera juga tidak pernah menyalahkan teman-temannya kalau ketika sesekali bertemu obrolan banyak diisi tentang anak dan seputarnya. Buatnya itu hal biasa, usia mereka memang usia produktif. Jadi wajar saja kalau pembicaraan biasanya seputar pernikahan, kehamilan, atau perkembangan anak-anak mereka yang memang semakin lucu dan menakjubkan, atau cerita lain seputar itu. Biar bagaimanapun Hera menyadari menjadi ibu adalah proses yang tidak mudah dan perlu belajar atau bertukar pengalaman dengan yang lain.

Tapi kadang-kadang, sesekali ketika Hera sedang sedih, rasanya ia tidak mau mendengar itu dulu. Hera senang juga jika ada yang berusaha menjaga perasaannya diwaktu-waktu tertentu, dengan tidak terlalu banyak bercerita tentang hal tersebut, bertanya, atau malah menyemangati dengan do’a dan dukungan agar sabar dan yakin akan datangnya si kecil menyemarakkan rumah tangganya.

Hera tersadar dari lamunannya. Diminumnya segelas air dingin dari lemari es. Sejuk sekali. Meskipun malam tapi udara terasa pengap. Hera meneruskan tidurnya. Dalam lelap ia bermimpi bermain bersama beberapa gadis kecil. Senang sekali.

Siang keesokan harinya, Hera sedang merancang sebuah ruang pameran di kantornya. Ada festival Islam yang akan digelar, mungkin karena tidak banyak designer interior berjilbab rapi seperti Hera, ia dipercaya merancangnya. Ketika sedang mencorat-coret gambar, Fitri mengejutkannya, “Mbak Hera, ada tamu yang mau bertemu.”

“Dari mana, Fit?” tanya Hera.
“Katanya dari Yayasan Amanah, mbak, tanya soal aplikasi mbak Hera bulan kemarin.”
“Oh itu. Iya deh, saya ke depan sepuluh menit lagi.” jawab Hera.

Setelah berbincang-bincang dengan tamunya, akhirnya Hera menyepakati mengangkat salah satu anak yatim yang diasuh yayasan tersebut sebagai putra asuhnya. Namanya Toni. Hera memang selalu menyisihkan rezekinya untuk mereka yang membutuhkan.

Dan kali ini, ia berniat untuk menyantuni dan mengasuh Toni seperti anaknya sendiri, itupun setelah dimusyawarahkan dengan suaminya. Hera berharap, dengan begitu ia bisa cepat hamil. Ibu-ibu banyak yang mengatakan, mungkin Hera perlu ’pancingan’ agar bisa lekas dapat momongan.

Begitulah, mulai saat itu, Toni yang berusia 12 tahun, tinggal bersama Hera dan Vincent.

Mempunyai ’anak’, membawa banyak hikmah bagi Hera. Ia jadi semakin teliti dan perhatian. Apapun kebutuhan Toni berusaha ia penuhi. Mulai dari baju hingga mainan, juga kebutuhan sekolah bocah itu yang tahun depan mau masuk SMP.

Hera juga mencurahkan seluruh kasih sayangnya pada Toni, hingga mas Vincent yang merasa tersisih, sempat melayangkan protes sambil bercanda, ”Hmm, gimana kalau punya anak beneran ya, bisa-bisa aku nggak boleh tidur di kamar.”

Hera cuma tertawa menanggapinya.
”Ah, mas bisa aja.” dia mencubit pinggang laki-laki itu.
Dan selanjutnya merekapun bergumul di ranjang untuk memuaskan satu sama lain, sambil berharap persetubuhan kali ini akan membuahkan hasil.

Esok paginya, seperti biasa, Hera menyiapkan sarapan bagi Toni. Tidak terasa, sudah hampir tiga bulan bocah itu tinggal bersamanya. Dan Hera merasa senang sekaligus bersyukur, karena pilihannya ternyata tidak salah, Toni sangat pintar dan baik. Anak itu tidak nakal, sangat menurut meski agak sedikit pendiam. Hanya kepada Hera lah ia mau berbincang, sedangkan dengan mas Vincent, Toni seperti menjaga jarak.

”Kenapa, Ton?” tanya Hera menanyakan sebabnya saat mereka sarapan bersama. Saat itu mas Vincent sudah berangkat ke kantor, sedangkan Toni masuk siang.

Bocah itu terdiam, hanya jari-jari tangannya yang bergerak memainkan bulatan bakso di atas nasi gorengnya.

”Tidak apa-apa, ngomong saja sama Umi.” kata Hera. Dia memang menyuruh Toni untuk memanggilnya dengan panggilan ’Umi’ sedangkan untuk mas Vincent ’Abi’.
”Ah, nggak, Mi.” Toni masih tampak takut.

Hera menatapnya. Di usianya yang baru beranjak remaja, bocah itu terlihat tampan. Kalau besar nanti, pasti banyak gadis yang akan terpikat kepadanya.

”Umi nggak akan marah.” kata Hera lagi, penuh dengan sabar.

Toni menggeleng, dia menundukkan kepalanya semakin dalam.
Kasihan, Hera pun mendekatinya.
”Tidak apa-apa kalau kamu nggak mau bilang, umi nggak akan maksa.” Dipeluknya bocah kecil itu, diletakkannya kepala Toni di atas gundukan buah dadanya.

Ia biarkan Toni menangis di situ.
”Maaf kalau Umi sudah membuatmu takut.” ucap Hera penuh nada penyesalan, ia memang tidak berharap perbincangan ini akan berakhir seperti itu.

Lama mereka berpelukan, hingga Hera merasa tangis Toni perlahan mereda dan akhirnya benar-benar berhenti. Ia sudah akan melonggarkan dekapannya saat merasakan sesuatu yang lembut mengendus dan menyundul-nyundul pelan buah dadanya.

Ah, Toni! Apa yang kamu lakukan? Hera memang cuma mengenakan daster longgar saat itu, hanya saat keluar rumah atau ada tamu pria, ia mengenakan jilbab. Dengan pakaian seperti ini, bibir Toni yang bermain di belahan payudaranya sungguh sangat-sangat terasa.

Cepat Hera melirik ke bawah, dilihatnya si bocah yang kini berusaha mencium dan menyusu ke arah buah dadanya.

”Toni!” Hera menegur, tapi dengan suara dibuat selembut mungkin, takut membuat bocah itu kembali mengkerut. Padahal dalam hati, Hera benar-benar mengutuk aksinya yang sudah kurang ajar.
Toni mendongakkan kepala, ”M-maaf, Mi.” suaranya parau, sementara tubuhnya gemetar pelan.

Tak tega, Hera segera memeluknya kembali. ”Tidak apa-apa, tapi jangan diulang lagi ya. Itu tidak boleh.” ia membelai rambut Toni penuh rasa sayang.
Toni mengangguk. ”Maaf, Mi. Toni cuman pengen tahu gimana rasanya nenen.”
Hera terkejut, ”Emang kamu belum pernah?” tanyanya tak percaya.
”Toni kan yatim piatu dari kecil, Mi. Jangankan nenen, siapa ibu Toni aja nggak ada yang tahu. Toni ditinggal di depan pintu yayasan.” jawab bocah itu dengan getir.

Hera meneteskan air mata mendengarnya, ia mendekap dan mengelus kepala Toni lebih erat lagi. Setelah terdiam cukup lama, Hera akhirnya membuka suara, ”Bener kamu pengen nenen?” tanyanya dengan suara berat. Keputusan sudah ia ambil, meski itu awalnya begitu berat.

Toni menganggukkan kepala.
”Janji ya, cuma nenen?” tanya Hera sambil memandang matanya.
”I-iya, Mi.” angguk Toni cepat.

”Dan jangan ceritakan ini sama orang lain, termasuk pada Abi. Karena anak sebesar kamu sudah tidak seharusnya nenen pada Umi, ini tidak boleh. Tapi karena kasihan, Umi terpaksa mengabulkannya.” terang Hera, terbersit nada getir dalam suaranya.

”Iya, Mi. Toni janji.” kata bocah kecil itu.

Begitulah, dengan perlahan Hera pun menurunkan dasternya hingga buah dadanya yang besar terlihat jelas. Meski masih tertutup BH, benda itu tampak begitu indah. Ukurannya yang di atas rata-rata membuatnya jadi tampak sesak. Hera segera membuka cup BH-nya, tanpa ada yang menyangga, bulatan kembar itupun terlontar dengan kerasnya hingga sanggup membuat mata bulat Toni makin melotot lebar.

”M-mi…” Toni memanggil, tapi pandangannya sepenuhnya tertuju pada area dada sang ibu angkat yang kini sudah terbuka lebar, siap untuk ia jamah.

”Ayo, katanya mau nenen?” kata Hera sambil menarik salah satu bulatan payudaranya ke depan, memberikan putingnya yang merona merah pada Toni.

Tahu ada benda mulus menggiurkan yang mendekat ke arah mulutnya, Toni pun membuka bibir, dan mencaplok puting Hera dengan perlahan, ”Ahm…” lenguh mereka berdua hampir bersamaan.

Hera kegelian karena ada lidah basah yang melingkupi ujung payudaranya, sedangkan Toni merasa nikmat mendapat benda yang selama ini ia idamkan-idamkan. Lidahnya terus menari membelai puting payudara Umi-nya, sedangkan bibirnya terus mengecap untuk mencucup dan menghisap-hisapnya.

”Ah, jangan keras-keras, Ton. Sakit!” desis Hera di sela-sela jilatan sang anak angkat. Ia mulai merasa merinding, jilatan Toni mengingatkannya pada mas Vincent, yang biasa melakukannya sebelum mereka tidur. Meski aksi Toni terasa agak sedikit kaku, tapi sensasi dan rasanya tetaplah sama.

Sementara itu, Toni dengan tak sabar dan penasaran terus menyusu. Mulutnya dengan liar bermain di gundukan payudara Hera. Tidak cuma yang kiri, yang kanan juga ia perlakukan sama. Kadang Toni malah membenamkan wajahnya di belahan payudara Hera yang curam, dan membiarkan mukanya dikempit oleh bulatan kenyal itu, sambil tangannya mulai meremas-remas ringan.

”Ah, Ton.” rintih Hera mulai tak sadar. Ia menekan kepala bocah itu, berharap Toni mempermainkan payudaranya lebih keras lagi.
Toni yang gelagapan berusaha mencari udara, digigitnya salah satu puting Hera hingga umi-nya itu menjerit kesakitan.
”Auw, Ton! Apaan sih, sakit tahu!” Hera mendelik marah, tapi melihat muka Toni yang memerah dan nafasnya yang ngos-ngosan, iapun akhirnya mengerti. ”Eh, maaf. Umi nggak tahu.”
”Gak apa-apa, Mi.” Toni tersenyum, kedua tangannya masih hinggap di dada Hera dan terus meremas-remas ringan disana.
”Gimana, kamu suka?” tanya Hera sambil membelai kepala Toni penuh rasa sayang.

Si bocah mengangguk,
”Iya, Mi.”
”Mau lagi?” tanya Hera.
Toni mengangguk, senyumnya terlihat semakin lebar.
”Kalau begitu, ayo sini.” Hera pun menarik kepala bocah itu dan ditaruhnya kembali ke atas gundukan payudaranya.

Begitulah, sampai siang, Toni terus menyusu di bongkahan payudara Hera, sang ibu angkat yang masih berusia muda, tidak lebih dari 30 tahun. Dengan payudara yang masih mulus sempurna, Toni benar-benar dimanjakan. Ia menjadi bocah yang paling beruntung di dunia. Sementara Hera juga merasa senang karena kini ia menjadi semakin intim dan akrab dengan sang putra angkat yang sangat ia sayangi.

Rutinitas itu terus berlangsung. Kapanpun dan dimanapun Toni ingin, asal tidak ada orang -terutama mas Vincent- Hera dengan senang hati menyusuinya. Dan seperti yang sudah dijanjikan, Toni memang tidak pernah meminta lebih.

Bocah itu cuma meremas dan menghisap, tidak macam-macam. Ditambah lagi, sama sekali tidak ada nafsu ataupun birahi dalam setiap jilatannya, Toni benar-benar murni melakukannya karena pengen nenen. Hera jadi merasa aman.

Tapi semua itu berubah saat Toni naik ke jenjang SMP…

Umur yang bertambah membuat pikiran bocah itu semakin berkembang. Dari yang semula cuma nenen biasa, kini berubah menjadi jilatan mesra yang sangat lembut namun sangat menggairahkan. Remasan bocah itu juga semakin bervariasi; kadang keras, kadang juga lembut.

Kalau menghisap puting yang kiri, Toni memijit dan memilin-milin yang kanan, begitu pula sebaliknya. Tak jarang Toni mendempetkan dua puting itu dan menghisapnya dalam satu waktu. Pendeknya, Toni sekarang sudah tumbuh menjadi remaja yang tahu apa arti seks yang sesungguhnya.

Hera bukannya tidak mengetahui hal itu. Ia sudah bisa menebaknya saat melihat peHer Toni yang sedikit ereksi saat mereka sedang melakukan ’ritual’ itu. Tapi Hera pura-pura tidak tahu dan mendiamkannya saja.

Toh Toni juga tidak berbuat macam-macam, anak itu tetap ’sopan’. Malah Hera yang panas dingin, itu karena ukuran peHer Toni yang saat ini sudah melebihi punya mas Vincent, padahal usia bocah itu masih sangat muda. Gimana kalau nanti sudah besar… ah, Hera tidak kuat membayangkannya.

Esoknya, saat membangunkan Toni untuk sholat subuh, Hera disuguhi pemandangan baru lagi. Saat itu Toni masih tertidur lelap, tapi tidak demikian dengan peHernya. Benda itu sedang berdiri dan menjulang begitu tegarnya. Sempat Hera terpana dan terpesona untuk beberapa saat, tapi setelah bisa menguasai diri, ia segera membangunkan sang putra,

” Ton, ayo sholat dulu.”

Toni cuma menggeliat lalu meneruskan tidurnya. Hera jadi tergoda. Apalagi sekarang di depannya, peHer Toni jadi kelihatan lebih menantang. Ukurannya yang begitu besar membuat Hera tercengang, dengan warna coklat kehitaman dan ‘kepala’ yang masih kelihatan imut (Toni baru bulan kemarin disunat), benda itu jadi terasa seperti magnet bagi Hera.

Tanpa terasa perlahan jari-jarinya terulur dan mulai menggenggamnya. Ia memperhatikan wajah sang putra angkat, Toni terlihat tenang saja, matanya tetap terpejam rapat sambil menikmati tidur pulasnya.

Dengan hati berdebar dan penuh perhitungan, takut dipergoki oleh sang suami -juga takut bila Toni tiba-tiba bangun- Hera mulai mengocok benda panjang itu perlahan-lahan. Saat diperhatikannya Toni tetap tertidur, malah bocah itu seperti menikmatinya -terlihat dari desah nafasnya yang semakin memburu dan tarikan lirih karena terangsang-

Hera pun mempercepat kocokannya. Hingga tak lama kemudian berhamburan cairan putih kental dari ujungnya. Toni ejakulasi. Yang gilanya, akibat rangsangan Hera, ibu angkatnya sendiri.

Merasa sangat bersalah, dengan tergopoh-gopoh Hera segera membersihkannya. Saat itulah, Toni tiba-tiba terbangun.

”Eh, umi…” gumamnya tanpa tahu apa yang terjadi.
Hera mengelap sisa sperma Toni ke ujung dasternya,
”Ayo sholat dulu, sayang.” katanya dengan nada suara dibuat senormal mungkin, padahal dalam hati ia sangat berdebar-debar.

Toni memperhatikan cairan putih kental yang berceceran di perutnya. Untuk yang ini, Hera tidak sempat membersihkannya. ”Ini apa, Mi?” Toni mengambil cairan itu dan mempermainkan di ujung jarinya, lalu mengendusnya ke hidung.

”Ih, baunya aneh.” bocah itu nyengir.
Hera tersenyum,
”Tidak apa-apa, itu tandanya kamu sudah mulai dewasa.”
Toni memandang umi-nya, ”Dewasa? Toni nggak ngerti. Maksud Umi apaan?” tanyanya.
”Nanti Umi jelaskan, sekarang mandi dulu ya.” Hera membimbing putra kesayangannya turun dari ranjang.

Toni menggeleng,
”Nggak mau ah, Mi. Dingin!”
”Eh, harus. Kalau nggak, nanti badanmu kotor terus. Ini namanya mandi besar.” terang Hera.
”Mandi besar?” tanya Toni, lagi-lagi tidak mengerti.
”Ah, iya. Kamu kan belum pernah melakukannya. Ya udah, ayo Umi ajarin.” Hera mengajak Toni untuk beranjak ke kamar mandi.

Di ruang tengah, dilihatnya mas Vincent kembali tidur setelah menunaikan sholat subuh. Sudah kebiasaan laki-laki itu, malam melek untuk sholat tahajud, habis subuh tidur lagi sampai waktu sarapan tiba. Dengan bebas Hera membimbing Toni masuk ke kamar mandi.

“Lepas bajumu,” katanya memerintahkan.

Toni dengan patuh melakukannya. Ia tidak risih melakukannya karena sudah biasa telanjang di depan ibu angkatnya. Tak berkedip Hera memperhatikan peHer Toni yang kini sudah mengkerut dan kembali ke ukuran semula.

”Pertama-tama, baca Bismillah, lalu niat untuk menghilangkan hadast besar.” kata Hera.
”Emang Toni baru dapat hadast besar ya?” tanya Toni pada ibu angkatnya yang cantik itu.
Hera dengan sabar menjawab, ”Iya, kamu tadi mimpi enak kan?” tanyanya.
Toni mengangguk,
”Iya sih, tapi Toni sudah lupa ngimpiin apa.”
”Nggak masalah, itu namanya kamu mimpi basah. Itu tanda kedewasaan seorang laki-laki. Dan sehabis dapat mimpi itu, kamu harus mandi besar biar badanmu suci lagi.” sahut Hera.
Toni mengangguk mengerti.
”Terus, selanjutnya apaan, Mi?”

”Selanjutnya… basuh kemaluanmu seperti ini,” Hera meraih peHer Toni dan mengguyurnya dengan air. Ajaib, bukannya mengkeret karena terkena air dingin, benda itu malah mendongak kaku dan perlahan kaku dan menegang karena usapan tangan Hera.

”Mi, enak…” Toni merintih.
Hera jadi serba salah, cepat ia menarik tangannya. ”Eh,”
Tapi Toni dengan kuat menahan, ”Lagi, Mi… enak,” pintanya.

Melihat pandangan mata yang sayu dan memelas itu, Hera jadi tidak tega untuk menolak. Tapi sebelumnya, ia harus memastikan segalanya aman dulu. Dikuncinya pintu kamar mandi, lalu ia berbisik pada sang putra.

”Jangan berisik, nanti Abimu bangun.” sambil tangan kanannya mulai mengocok pelan batang peHer Toni.
Toni mengangguk. Yang kurang ajar, untuk meredam teriakannya, ia meminta nenen pada Hera. “Plis, Mi. Toni pengen.”

Menghela nafas -karena merasa dipecundangi- Hera pun memberikan bongkahan payudaranya. Jadilah, di kamar mandi yang sempit itu, ibu serta anak yang seharusnya saling menghormati itu, melakukan hal buruk yang sangat dilarang agama. Toni menggelayut di tubuh montok ibu angkatnya, sambil mulutnya menyusup ke bulatan payudara Hera.

Bibirnya menjilat liar disana. Sementara istri Vincent, dengan nafas memburu menahan kenikmatan, terus mengocok peHer besar sang putra hingga menyemburkan sperma yang dikandung di dalamnya tak lama kemudian.

Banyak dan kental sekali cairan itu, meski tidak seputih yang pertama, tapi pemandangan itu sudah cukup membuat Hera jadi horny. Wanita itu merasakan celana dalamnya jadi basah. Tapi tentu saja ia tidak mungkin menunjukkannya pada Toni, bocah itu tidak akan mengerti. Jadi cepat-cepat ia bersihkan semuanya, takut mas Vincent yang sedang tertidur di ruang tengah tiba-tiba bangun dan memergoki ulah mereka.

Didengarnya Toni menarik nafas panjang sambil mendesah puas, ”Terima kasih, Mi. Nikmat banget. Badan Toni jadi enteng.”
Hera mengangguk mengiyakan. ”Sudah, sekarang mandi sana. Ulangi semuanya dari awal.”
Toni tersenyum, dan dengan bimbingan dari ibu angkatnya yang cantik, iapun melakukan mandi wajib pertamanya.

Sejak saat itu, level ’permainan’ mereka jadi sedikit meningkat. Hera tidak cuma memberikan payudaranya, tapi kini juga harus memuaskan Toni dengan tangannya. Dan si bocah, tampak senang-senang saja menerimanya. Siapa juga yang bakal menolak kenikmatan seperti itu.

Bagikan ke yang lainnya
Telegram
Tutup
Tutup