Lensaxxx

Cerita Ngentot Saat Berteduh Dengan Pak Dhe

Awan semakin gelap, mendung yang menggantung menandakan sebentar lagi akan hujan. Pakde Joko menyuruh Lia membenahi ceret air dan rantang makanannya kemudian mereka bergegas pulang sebelum hujan turun. Lia adalah istri Iding keponakan Pakde Joko yang sejak kecil ikut Pakde-nya.

Pakde Joko ini adalah kakak bapaknya yang tidak mempunyai anak sendiri. Dan sesudah menikah pasangan itu tetap mengikuti Pakde-nya yang sangat sayang pada keponakannya. Sehari-hari mereka bahu membahu mencari sesuap nasi membantu Pakde di sawah atau Budenya yang buka warung kecil-kecilan di rumahnya.

Seperti biasanya menjelang siang Lia mengantarkan makanan dan minuman Pakde-nya yang kerja di sawah. Hari itu kebetulan Iding pergi ke kota untuk membeli pupuk dan bibit tanaman.

Rupanya hujan keburu turun sementara mereka masih di tengah hamparan sawah desa yang sangat luas itu. Hujan ini luar biasa lebatnya. Disertai dengan angin yang menggoyang keras dan nyaris merubuhkan pohon-pohon di sawah hujan kali ini sungguh luar biasa besarnya. Sebagai petani yang telah terbiasa denagn kejadian semacam ini dengan enteng Pakde Joko membabat daun pisang yang lebar untuk mereka gunakan sebagai payung guna sedikit mengurangi terpaan air hujan yang jatuh di wajah mereka yang menghambat pandangan mata.

Sambil memanggul cangkulnya Pakde Joko merangkul bahu Lia erat-erat agar payung daun pisangnya benar-benar bisa melindungi mereka. Lia merasakan kehangatan tubuh Pakde-nya. Demikian pula Pakde Joko merasakan kehangatan tubuh Lia yang istri keponakannya itu.

Jalan pematang langsung menjadi licin sehingga mereka berdua tidak bisa bergerak cepat. Sementara pelukan mereka juga bertambah erat karena Pakde Joko khawatir Lia jatuh dari pematang. Kadang-kadang terjadi pergantian, satu saat Lia yang memeluki pinggang Pakde-nya. Tiba-tiba ada “setan lewat” yang melihat mereka dan langsung menyambar ke duanya.

Saat Pakde Joko memeluk bahu Lia tanpa sengaja beberapa kali menyentuh payudaranya. Pada awalnya hal itu tidak mempengaruhi Pakde, tetapi hawa dingin yang menyertai hujan itu ternyata mendatangkan gelisah di hatinya. Kegelisahan yang bisa merubah perasaannya. Saat pertama kali Pakde Joko tanpa sengaja menyentuh payudara istri keponakannya dia agak kaget, khawatir Lia menganggap dirinya berlaku tidak sopan.

Tetapi saat yang kedua kali dan kemudian dengan sadar menyentuhnya kembali untuk yang ketiga kalinya dia tidak melihat adanya reaksi menolak dari Lia, pikiran Pakde mulai dirasuki “setan lewat” tadi. Dan pelan-pelan tetapi pasti kontol di balik kolornya mulai menghangat dan bangun.

Toh rasa ke-imanan Pakde Joko masih berusaha bilang “jangan” walaupun tak bisa dipungkiri bahwa dalam hatinya dia mengharapkan sesuatu keajaiban, mungkin semacam sinyal, yang datang dari Lia.

Demikian pula Lia yang merasakan beberapa kali payudaranya tersentuh, pada awalnya dia tidak sepenuhnya menyadari. Tetapi saat tersentuh untuk yang kedua kalinya dia mulai mengingat sentuhan yang sama yang sering dilakukan oleh suaminya Iding. Biasanya kalau Iding menyentuh macam itu pasti ada maunya.

Pikiran lugu Lia langsung disambar “setan lewat” lagi. Adakah macam kemauan suaminya itu juga melanda kemauan Pakde-nya di hari hujan yang dingin ini? Tetapi sebagaimana Pakde Joko, Lia juga berusaha menepis pikiran buruknya dan berkata dalam hatinya “nggak mungkin, ah”. Walaupun dibalik sanggahannya sendiri itu bersemi di hati kecilnya, akankah datang sebuah keajaiban yang membuat tangan Pakde-nya menyentuh payudaranya lagi?

Maka, ketika pelukkan Pakde Joko pada bahu Lia yang semakin mengetat dan menyebabkan sentuhan ke tiga benar-benar hadir, hal itu sudah merupakan awal kemenangan sang “setan lewat” tadi.

Demikian pula saat hujan yang semakin deras dan jalan yang semakin licin hingga mengharuskan mereka menyesuaikan dan mengganti posisi pelukan agar tidak jatuh dari pematang, pelukan Lia dari arah punggung pada pinggang dan dada Pakde-nya mendorong lajunya bisikkan “setan lewat” tadi. Buah dada Lia yang empuk menempel hangat di punggung dan tangan halus Lia yang menyentuh perut dan dada, membuat kontol Pakde-nya benar-benar tidak tahu diri.

Keras mencuat ke depan seperti cengkal kayu yang menonjol pada sarung anak yang disunat. Untung Lia berada di belakangnya sehingga gangguan teknis itu tidak terlihat olehnya. Pakde Joko mulai mencari-cari apa jalan keluarnya?

Demikian pula yang dirasakan Lia saat memeluki Pakde-nya dari belakang. Tangannya yang ketat memeluk perut dan dada Pakde-nya membuat buah dadanya demikian gatal saat tergosok-gosok punggung Pakde yang tidak mungkin terdiam karena setiap langkah kaki Pakde-nya pasti akan menggoncang seluruh bagian-bagian tubuhnya.

Kegatalan macam itu menjadi terasa nikmat saat Lia mengingat bagaimana Iding suaminya sering menggosokkan wajahnya ke payudaranya. Mudah-mudahan Pakde-nya tidak keberatan dengan pelukannya, demikian pikiran lugu Lia.

Kemudian sang “setan lewat” kembali membisikkan ke dalam pikirannya, mudah-mudahan rumahnya semakin menjauh dan hujannya semakin menderas, yang disusul dengan seringai gigi taringnya karena gembira melihat usahanya telah meraih kemenangannya secara mutlak. Sekarang tinggal menggiring Pakde dan keponakkan mantunya ini menuju ke ke sentuhan setannya yang terakhir.

Hujan yang demikian hebat ini membuat jam 2 siang hari bolong itu gelap serasa menjelang maghrib. Awan gelap masih memenuhi langit. Dan lebih seram lagi kilat dan petir ikut menyambar-nyambar. Pikiran Pakde Joko dan Lia sekarang adalah mencari tempat berteduh. Pakde Joko tidak kehilangan arah.

Dia tahu persis kini berada di petak sawah milik Sarmin tetangganya. Kalau dia belok sedikit ke kanan dia akan menjumpai dangau untuk berteduh. Dan benar, begitu Pakde Joko yang dalam pelukan Lia belok kekanan nampak bayangan kehitaman berdiri tegak di depan jalannya. Mereka berdua memutuskan untuk berhenti dulu menunggu hujan sedikit reda.

Lia bisa menurunkan beban gendongannya ke amben bambu yang ada di situ. Kini mereka saling memandang. Lia memandang kaos oblong Pakde-nya yang basah kuyup lengket di tubuhnya dan menunjukkan bayangan dadanya yang gempal berotot.

Sementara Pakde Joko melihat kebaya dan kain di tubuh Lia yang istri keponakannya basah kuyup dan membuat bayangan tubuhnya yang sintal dengan payudaranya yang menggembung ke depan. Dengan setengah mati Pakde Joko berusaha menyembunyikan tonjolan kontolnya pada celana kolornya.

Pakde Joko memperkirakan jarak dangau itu ke dusunnya kira-kira “se-udut”-an, sebuah perhitungan yang biasa dipakai orang desa mengenai jarak dekat atau jauh diukur dari sebatang rokok yang dinyalakan (dihisap).

Mungkin sekitar 6 s/d 8 menit orang jalan kaki. Sementara itu tak bisa diharapkan akan ada orang lewat sawah ini dalam keadaan hujan macam begini. Pandangan mata secara jelas ke depan tidak lebih dari 5 meter, selebihnya kabut hujan yang menyelimuti seluruh hamparan sawah itu.

Dalam usaha menghindar percikan hujan di dangau Pakde Joko dan Lia harus duduk meringkuk ketengah amben yang relatip sangat sempit yang tersedia. Artinya seluruh anggota tubuh harus naik ke amben sehingga mau tidak mau mereka harus kembali berhimpitan. Dan sang “setan lewat” kembali hadir menawarkan berbagai pertimbangan dan keputusan.

Lia yang ditimpa hujan dan hawa dingin menggigil. Demikian juga Pakde Joko. Untuk menunjukkan rasa iba pada istri keponakannya Pakde meraih pundak Lia dan membagikan kehangatan tubuhnya. Dan untuk menghormati maksud baik Pakde-nya Lia menyenderkan kepalanya pada dadanya.

Walaupun pakaian mereka serba basah tetapi saat tubuh-tubuh mereka nempel kehangatan itu terjadi juga. Dan pelukan yang ini sudah berbeda dengan pelukan saat awal Pakde Joko membagi payung daun pisangnya tadi. Pelukan yang sekarang ini sudah terkontaminasi secara akumulatip oleh campur tangan sang “setan lewat” tadi.

Saat kepala Lia terasa pasrah bersender pada dada, jantung Pakde Joko langsung tidak berjalan normal. Dan tonjolan di celananya membuat susah memposisikan duduknya. Demikian pula bagi Lia. Saat Pakde-nya meraih bahunya untuk memberikan kehangatan pada tubuhnya dia merasakan seakan Iding yang meraihnya.

Dengan wajahnya yang mendongak pasrah menatap ke wajah Pakde-nya Lia semakin menggigil hingga kedengaran giginya yang gemelutuk beradu. Dan inilah saatnya “sang setan” lewat melemparkan bisikan racunnya yang terakhir kepada Pakde Joko.

“Ambil!, Ambil!, Ambil!, Ambil!”, dan Pakde tahu persis maksudnya.

Seperti bunga layu yang jatuh dari tangkainya, wajah Pakde Joko langsung jatuh merunduk. Bibirnya menjemput bibir Lia yang istri keponakkannya itu. Dan desah-desah lembut dari dua insan manusia itu, membuat seluruh rasa dingin dari baju yang basah dan tiupan angin menderu akibat hujan lebat itu musnah seketika dari persada Pakde Joko maupun persada Lia.

Mereka kini saling melumat. Sang “setan lewat” cepat berlalu untuk menghadap atasannya dengan laporan bahwa otomatisasi setannya sudah ditinggal dan terpasang dalam posisi “ON” pada setiap dada korbannya. Kini dia berhak menerima bintang kehormatan para setan.

Dan lumatan lembut menjadi pagutan liar. Kini lidah dan bibir mereka saling berebut jilatan, isepan dan kecupan. Dan bukan hanya sebatas bibir. Jilatan, isepan dan kecupan itu merambah dan menghujan ke segala arah. Keduanya menggelinjang dalam gelombang dahsyat birahi. Lia menggeliatkan tubuhnya minta agar Pakde-nya cepat merangkulnya. Pakde Joko sendiri langsung memeluki dada Lia.

Wajahnya merangsek buah dadanya. Dikenyotnya baju basah penutup buah dadanya. Lia langsung mengerang keras-keras mengalahkan suara hujan. Kaki-kakinya menginjak tepian amben sebagai tumpuan untuk mengangkat-angkat pantatnya sebagai sinyal untuk Pakde-nya bahwa dia sudah menunggu tindak lanjut operasi cepat Pakde-nya.

Pakde Joko memang mau segalanya berjalan cepat. Waktu mereka tidak banyak. Segalanya harus bisa diraih sebelum hujan reda. Dan operasi ini tidak memerlukan prosedur formal. Kain penutup tubuh Lia cukup dia singkap dengan tangannya hingga ke pinggang. Nonok Lia yang menggembung nampak sangat ranum dalam bayangan jembutnya yang lembut tipis.

Kelentitnya nampak ngaceng mengeras menunggu lumatan lidahnya. Tak ada yang ditunggu, wajah Pakde Joko langsung merangsek ke kemaluan ranum itu. Bibir dan lidahnya melumat dan menghisap seluruh perangkat kemaluan itu. Tangan Lia menangkap kepala Pakdenya, menekannya agar lumatan dan jilatan Pakde-nya lebih meruyak masuk ke dalam vaginanya.

Cairan birahi yang asin hangat bercampur dengan air hujan dia sedot dan telan untuk membasahi kerongkongannya yang kering kehausan. Itil Lia dia lumat dan gigit dengan sepenuh gemasnya. Tekanan Lia pada kepalanya berubah jadi jambakkan pada rambutnya. Pantat Lia terus naik-naik menjemput bibir dan lidah Pakde-nya. Tetapi Pakde Joko tidak akan mengikuti kemauan idealnya. Hitungan waktu mundurnya sudah dimulai.

Kini Pakde Joko yang sudah meninggalkan celana kolornya di rerumputan pematang merangkak ke atas dan memeluki tubuh basah hujan Lia. Kontolnya berayun-ayun mencari sasarannya. Paha Lia yang hangat langsung menjepit tubuh Pakde-nya dengan nonoknya yang tepat terarah ke ujung kontol Pakde Joko. Untuk langkah lanjutannya, mereka berdua, baik yang senior maupun yang yunior sudah terampil dengan sendirinya.

Ujung kontol Pakde Joko sudah tepat berada di lubang vagina istri keponakannya. Mereka telah siap melakukan manuver akhir sambil menunggu hujan reda. Dan saat mereka saling dorong, kemaluan Pakde Joko langsung amblas ditelan vagina Lia. Sambil bibir-bibir mereka saling melumat, Pakde Sastro mengayun dan Lia menggoyang.

Kontol dan vagina Lia bertemu dalam kehangatan seksual birahi ruang luar, ditengah derasnya hujan, tiupan angin dan kilat serta petir yang menyambar-nyambar dengan disaksikan oleh segenap dangau yang lengkap dengan berisik ambennya, oleh belalang yang ikut berteduh di atapnya, oleh kodok yang bersuka ria menyambut hujan, oleh wereng yang berlindung di daunan padi yang sedang menguning, oleh baju-baju mereka yang basah dan lengket di badan.

Pakde Joko mempercepat ayunan kontolnya pada lubang kemaluan Lia. Walaupun dia sangat kagum sekaligus merasai nikmat yang sangat dahsyat atas penetrasi kontolnya pada lubang vagina Lia yang serasa perawan itu, dia tetap “concern” dengan waktu. Lia yang menikmati legitnya kontol Pakde-nya menggelinjang dengan hebatnya.

Dia juga ingin selekasnya meraih orgasmenya. Genjotan kontol Pakde-nya yang semakin cepat pada kemaluannya mempercepat dorongan untuk orgasmenya. Kini dia merasakan segalanya telah siap berada di ujung perjalanan. Dan dengan jambakan tangannya pada rambut Pakde Joko, bak kuda betina yang lepas dari kandangnya Lia memacu seluruh saraf-saraf pekanya.

Kedua kakinya dia jejakkan keras-keras pada tepian amben dangau hingga pantatnya terangkat tinggi untuk menelan seluruh batang kontol Pakde Joko dan datanglah malaikat nikmat merangkum seluruh otot, daging dan tulang belulang Lia. Cairan birahi Lia muncrat melebihi derasnya hujan siang itu.

Terus muncrat-muncrat yang diikuti dengan pantatnya yang terus naik-naik menjemputi kontol Pakde Joko yang juga terus mempercepat sodokkannya untuk mengejar kesempatan meraih orgasme secara berbarengan dengan orgasme Lia.

Dan pada saat puncratan cairan vagina Lia mulai surut kontol Pakde Joko yang masih kencang mengayun vagina Lia tiba-tiba berkedut keras. Kedutan besar pertama menumpahkan bermili-mili liter air mani yang kental lengket dari kantong spermanya. Dan kedutan berikutnya merupakan kedutan pengiring yang menguras habis kandungan sperma dari kantongnya.

Sesaat kemudian bersamaan dengan surutnya hujan mereka berdua Pakde Joko dan Lia yang istri keponakannya terengah-engah dan rebah. Amben dangau itu nyaris terbongkar. Bambu-bambunya ada yang lepas terjatuh. Mereka kini kegerahan dalam dinginnya sisa hujan. Keringat mereka bercucuran rancu dengan air hujan yang membasahi sebelumnya.

Pakde Joko dan Lia telah meraih kepuasan yang sangat dahsyat. Pelan-pelan mereka bangkit dari amben dan turun ke pematang kembali. Lia membetulkan letak kain dan kebayanya. Pakde Joko memakai celana kolornya yang basah jatuh di pematang dan kembali meraih cangkulnya. Langit yang cepat cerah kembali nampak biru dengan sisa awan yang berarak menyingkir.

Pohon kelapa di dusunnya nampak melambai-lambai menanti kepulangannya. Lia dan Pakde Sastro yakin bahwa Bude maupun Iding pasti cemas pada mereka yang tertahan hujan ini. Pakde sudah membayangkan pasti istrinya telah memasak air untuk kopinya lengkap dengan singkong bakar kesukaannya.

Dan dalam bayangan Lia, Iding pasti telah sangat merindukannya untuk bercumbu di siang hari. Suara kodok di sawah mengantarkan mereka pulang ke rumahnya.

Bagikan ke yang lainnya
Telegram
Tutup
Tutup