Saat itu rumah saya sedang sepi. Maklum pemilu, padahal biasanya ramai sekali. Satu rumah dihuni tujuh orang, ayah, ibu, kakak laki-laki saya yang masih kuliah, saya sendiri SMA kelas tiga, baru saja selesai Ebtanas dan lulus. Kemudian adik perempuan saya kelas lima SD, lalu sepupu laki-laki saya kelas dua SMP dan pembantu satu orang. Oh iya, panggil saja saya Jesi, asli Tolaki.

Jadi pada saat pemilu rumah yang berada di kawasan Perumahan Pemda Kampung Kemah Raya, Kendari jadi sepi sekali. Ayah ke Kolaka, mengurus pemilu di sana, kebetulan juga beliau caleg Golkar untuk daerah tersebut. Kakak saya jadi pengawas pemilu untuk UNFREL Kendari, ibu saya jadi panitia pemilu lokal kawasan Kemah Raya.

Pembantu dan adik, disuruh bantuin ibu mengurus konsumsi. Praktis yang jaga rumah, saya dengan sepupu saya yang bernama, Vandi. Saya belum ikut memilih, belum cukup umur, baru 16 tahun lebih dua bulan. Saya dengan Vandi sangat akrab, habisnya dia ikut dengan keluarga saya sejak masih kelas satu SD, dan selalu menjadi teman main saya.

Senin itu, badan saya pegal sekali, selesai ngepel dan membersihkan rumah. Dan seperti biasa saya kepingin dipijitin. Biasanya sih oleh ibu, dan Vandi juga, habis dari kecil saya sudah biasa menyuruh dia. Karena agak pegal, saya panggil saja Vandi untuk mijitin, Vandi nurut saja. Saya langsung berbaring telungkup di karpet depan TV, dan Vandi mulai memijit tubuhku. Asyik juga dipijit oleh Vandi, tangannya keras sekali, punggungku jadi fresh lagi.

“Duh, Van.., mijitnya yang lurus dong, jangan miring kiri miring kanan..”, kataku.
“Abis, posisinya nggak bagus kak”, jawabnya.
“Kamu dudukin aja paha Kak Jesi, seperti biasa..”.
“Tapi.., kak..”.
“Alah.., nggak usah tapi.., biasanya kan juga begitu.., ayo..”, Saya tarik tangan Vandi memaksanya untuk duduk di pahaku, seperti kalau dia memijit saya pada waktu-waktu kemarin.

Vandi akhirnya mau, duduk dan menjadikan kedua pahaku dekat pantat sebagai bangkunya, dan mulai lagi ia memijit sekujur punggungku. Tapi, pijitan agak lain, makin lama makin saya rasakan tangannya agak gemetaran dan nafasnya agak ngos-ngosan.

“Kamu kenapa Van, capek atau sakit..?”, tanyaku.
“Tidak, tidak apa-apa kak”, jawabnya. Akan tetapi duduknya mulai tidak karuan, geser kiri dan kanan, sementara pantatnya seperti tidak mau dirapatkan di pahaku, agak terangkat.

Akhirnya, saya menyuruhnya pindah, dan saya bangun, lalu duduk mendekati, biasa bermaksud menggoda.

“Ayo.., kamu kenapa, ini pantatmu, selalu diangkat.., tidak biasanya”, sambil tanganku bermaksud mencubit pantatnya.

“Tidak, tidak apa-apa kak..”, jawabnya sambil menghindari cubitanku, malah tanganku tersenggol celana bagian selangkangannya yang seperti agak tertarik kain celananya dan agak menonjol, melihat itu timbul rasa isengku, karena memang saya dan Vandi kalau main seperti anak-anak yang masih TK, asal ngawur saja.

“Loh.., itu apa di celanamu Van, kok nonjol begitu..” Mendengar itu Vandi merah padam mukanya, lalu ia berdiri ingin lari menghindar dari saya, tapi segera kutarik tangannya untuk duduk, dan tanganku yang satu menggerayangi celananya memegangi dan meraba benjolan tersebut.

“Jangan Kak Jesi, Vandi malu..”, katanya. Dasar saya yang nakal, saya pelototin matanya, Vandi langsung diam, dan tanganku leluasa memegang barang tersebut.

Penasaran, saya buka resliting celananya dan menarik keluar barangnya yang mengeras tersebut, dan astaga, ternyata penis Vandi sudah menegang. Baru kali ini saya melihat penis milik orang yang bukan anak-anak dan sudah disunat yang tegang dan keras serta panjang seprti itu. Sementara Vandi diam saja, kepalanya hanya menunduk, mungkin malu atau bagaimana saya tidak tahu.

Saya acuh saja, perlahan-lahan, kuelus-elus penis Vandi, semakin mengeras penisnya hingga urat-uratnya seperti mau keluar. Kudengar Vandi mendesah tertahan. Lalu kuurut-urut sambil kupijit kepala penisnya yang merah itu, Vandi makin mendesah, “Ah.., ah..”

Kugenggam erat penis Vandi dan kukocok-kocok dengan perlahan, semakin lama semakin kencang. Badan Vandi ikut menegang, sambil kepalanya terangkat ke atas menatap langit, mulutnya terbuka, dia mulai agak mengerang, “Achh..”.

Semakin kencang penis Vandi kukocok, semakin menggeliat badan Vandi membuat saya tersenyum geli melihatnya. Sampai erangan Vandi makin mengeras, “Ach.., achh..”. Dan badannya makin menggeliat, hingga mungkin tidak tahan.., ia lalu memelukku erat. Mulanya saya kaget akan reaksinya, tapi saya biarkan saja, karena keasyikan mengocok penis Vandi. Rupanya Vandi sudah semakin menggeliat, hingga tangannya entah sadar atau tidak ikut menggeliat juga, meraba badanku dan payudaraku.

“He Vandi.., kenapa..” tegurku, sambil tetap mengocok penis Vandi, “Achh.., achh..” Hanya itu yang Vandi bilang, sementara tangannya meremas-remas payudaraku, dan remasannya yang kuat membuatku merasakan sesuatu yang lain, hingga saya biarkan saja Vandi meremas payudaraku, dan Vandi lalu menyingkap baju kaos yang kupakai, hingga kelihatan BH-ku dan meremas payudaraku lagi hingga keluar dari BH-ku.

“Acchh.., acchh” erang Vandi, saya mulai merasakan kenikmatan tersendiri pada saat payudaraku tidak terbungkus BH diremas oleh tangan Vandi dengan kuat, sedangkan penisnya tetap saja kukocok-kocok. Dan entah naluri apa yang ada pada Vandi, hingga dia nekat menyosor payudaraku dan mengisap putingnya seperti anak bayi yang sedang menyusu.

“Aduh.., Vandi.., aduhh” Hanya itu yang mampu kuucapkan, payudaraku mulai mengeras, keduanya diisap secara bergantian oleh Vandi.

Saya juga mulai menggeliat, kutarik kepala Vandi dari payudaraku, lalu kudekatkan ke wajahku, kucium bibirnya dengan nafsu yang muncul secara tiba-tiba, Vandi balas mencium, bibir kami berdua saling memagut, lidah bertemu lidah saling mengadu dan menjilati satu sama lain.

Tangan Vandi menggerayangi badanku, melepaskan baju dan BH-ku, hingga aku bugil sebatas dada. Kulepaskan juga baju yang dipakai Vandi, dan kupelorotkan celananya, hingga Vandi bugil tanpa sehelai benangpun, dan kembali kukocok penisnya, sedangkan Vandi kembali menyosor payudaraku yang sudah keras membukit.

Perlahan tangan Vandi menelusuri rokku lalu menyelusup masuk ke dalam rokku, “Acchh.., Acchh”, Saya dan Vandi terus mengerang dan menggelinjang. Tangan Vandi menyelusup ke dalam CD-ku, lalu mengusap-ngusap vaginaku.

“Aduuhh.., Vandi..” erangku, sementara jarinya mulai ia masukkan ke dalam vaginaku yang mulai kurasakan basah, dan Vandi mempermainkan jarinya di dalam vaginaku.

“Acchh.., aduuhh.., acchh..”. Tak tahan lagi, Vandi menarik lepas rok dan celana dalamku, hingga akhirnya saya kini telanjang bulat. Kemudian Vandi mencium bibirku dan saya tetap mengocok penisnya, sedangkan jarinya bermain dalam vaginaku.

“Acchh..” Hanya erangan tertahan karena tersumbat bibir Vandi yang keluar dari mulutku. Kemudian Vandi berhenti menciumku, lalu ia mengambil posisi menindih badanku, saya membiarkan saja apa yang akan Vandi lakukan, karena kenikmatan itu sudah mulai terasa mengaliri pembuluh darahku. Dan, tiba-tiba saya rasakan sakit yang teramat sangat di selangkanganku.

“aacchh, Vandi.., apa yang kau lakukan..”, tanyaku. Tapi terlambat, rupanya Vandi sudah memasukkan batang penisnya ke dalam vaginaku, dan seperti tidak mendengarkan pertanyaanku, Vandi mulai mengoyang batang penisnya naik turun dalam vaginaku yang semakin berlendir dan mulai terasa basah oleh aliran darah perawanku yang mengalir membasahi vaginaku.

“Acchh.., Vandi.., aduuhh Vandi..”, erangku.
Badanku semakin menggelinjang, kujepit badan Vandi dengan kedua kakiku sementara tanganku memeluk erat dan menggoreskan kukuku di punggung Vandi. Semakin kencang goyangan penis Vandi dan semakin keras pula erangan kami berdua.

“Acch.., aduhh..” Hingga akhirnya kurasakan sesuatu yang sangat nikmat yang terdorong dari dalam.., dan erangan panjang saya dan Vandi, “aahh”. Bersamaan semprotan mani Vandi dalam vaginaku dan semburan maniku yang menciptakan kenikmatan yang tak pernah kurasakan dan kubayangkan sebelumnya.

Vandi menarik keluar penisnya, lalu berbaring di sampingku. Kami berdua saling bertatapan, seperti ada penyesalan tentang apa yang telah terjadi, akan tetapi rupanya nafsu kami berdua lebih kuat lagi. Kuraih kembali dan kudekatkan wajahku ke wajah Vandi, kami lalu berciuman lagi dan saling melumat, kemudian kupegang erat penis Vandi, sehingga kembali menegang dan kembali lagi kami melakukan hubungan badan tersebut hingga beberapa kali.

Hingga hari ini saya dan Vandi, bila ada kesempatan masih mencuri waktu dan tempat untuk melakukan hubungan badan, karena mengejar kenikmatan yang tiada taranya, kadang di kamarku, di kamar Vandi, ataupun di dalam kamar mandi.